Selasa, 08 April 2014

Idealita Vs Realita


Ada yang membuatku surprise saat mendengar cerita saudara sepupuku, pas melayat. “wah masa mau pemilu aku stress, pusingKenapa? tanyakuaku melakukan hal yang aku tidak suka dan tidak disukai suamiku. Aku harus ikut aktiv bantu kampanyeLhoterus kenapa kamu ikut ? Yaa pada intinya dia
mengeluhkan segala uneg-unegnya. Diakhir keluhannya dia menyampaikan, “keluargaku saat ini pada posisi yang netral, semua pada sikap masing-masing.” Bagus itu jawabku, artinya tidak perlu saling serang atau fanatis kan ?
Masalahnya 2 kakakku yang dulu sama-sama aktiv dan mendukung sama denganku, sekarang mereka memilih diam. Karena mereka sudah tahu kondisi di tingkat atas seperti apa. Tahukah, masku yang pemilu sebelumnya terjun langsung di lapangan pasang bendera, spanduk disamping dia memang membina kader sekarang memilih netral. Tidak ada bendera yang dia pasang. Mbakku juga demikian, dia memilih netral meskipun masih aktiv di majelis atau kajian. Sekarang lebih suka belajar Al Quran saja.
Aku terus menyimak dan mendengarkan. Setelah usai, aku menyatakan surpriseku, jadi selama ini dik Zul (bukan karena usia lebih muda tapi dalam urutan pernahe bersaudara lebih muda, tapi sekarang saya memanggilnya mas Zul. Jadi tidak tidak ada yang lebih muda karena aku juga dipanggil beliaunya Mbak) aktivis juga tho? Wah baru tahu aku. Tidak disangka, padahal masmu kan seorang intelektual dan sangat pendiam, praktisi langsung dunia pendidikan juga aktivnya lebih banyak ke sosial kemasyarakatan. Aku mengira dari dulu beliau seorang yang netral dalam arti tidak aktiv di kegiatan politik. Beliau seorang dosen yang sudah lebih dari 15 tahun mengajar  di sebuah perguruan tinggi yang bonafide di Jogja.
Wah, keren kok sama dengan saya ya pilihan sikapnya tahun ini? Tanpa bermaksud mereferensi, ternyata akupun bersikap sama pada pemilu tahun ini.

Dari dulu saya memang sering mereferensi ke beliau tentang beberapa hal, sejak saya masih  TPA  beliau adalah guru ngaji saya. Dan salah satu pembahasan yang sampai sekarang menular ke saya adalah tentang belajar siroh/tarikh Nabi dan sahabat. Beliau salah satu ustadz saya yang sering menceritakan tarikh di samping ustadz saya yang satunya, yangsekarang juga masih ngajar ngaji  di kampung_lebih banyak ke  tema ibadah.
Dulu saya mereferensi beliau ketika membaca bacaan tasyahud akhir, yang karena itu aku dinilai salah oleh ustadz keduaku yang berbeda pendapat sampai saya ditegur. Kemudian beliau yang menjelaskan alasannya, lalu aku yaa hanya lanjutkan saja. Waktu itu ada khilafiyah di bacaan sholawat Nabinya. Tapi, kemudian aku saat praktik sholat memilih salah satu.
Atau saya juga sering mereferensi buku-buku bacaannya,ketika saya di awal-awal kuliah. Padahal jurusan saya bukan ilmu sosial tapi eksakta. Tapi saya tertarik pinjam buku-buku beliau yang banyak koleksinya yang jelas basisnya sosial, karena beliau orang hukum. Saat itu awal tahun 2000-an beliau sudah pindah ke Sleman, jadi aku pinjam lewat adiknya yang di rumah.
Waktu itu banyak sekali buku yang aku pinjam atau sekedar aku baca di rumahnya karena sambil sekadar main di sana, cukup bebas karena adiknya masih kuliah sama dengan saya, selain rumah juga dekat. Waktu itu di antara buku-buku yang saya sukai adalah ada majalah ulumul Quran, Al Quran dan tafsirnya yang dari UII press, buku-buku Emha Ainun Nadjib seperti Markesot bertutur, Slilit Pak Kyai, trus ada God Lob atau apa lupa karangan penulis Dananto, humor Sufi, buku anekdot Nashruddin Hoja, dsb. Tanpa kusadari, mungkin kegemaranku membaca sekarang terutama terkait buku-buku /esai sosial muasalnya dari sana. Semangatku di awal kuliah adalah rasa hausku akan ilmu, dan rasa  ingin tahuku, betapa menyenangkan belajar informal tidak seperti ketika masih di bangku sekolah SMP dan SMA dulu yang serba kaku karena semua sumber dari Guru.
Wajarlah, bagi beliau yang sangat paham tentang kondisi politik sekarang dengan kapasitas beliau. Adiknya yang tengah di jakartapun demikian, pasti juga sangat paham apalagi bekerja di sebuah departemen yang bonafide juga. Semua beralasan yang logis. Sedangkan aku, yaa karena ketidakpuasan dan kenyataan yang semakin jauh dari apa yang menjadi idealita yang dulu sering digaungkan.
}Terakhir yang masih aku ingat yang aku referensikan ke beliau adalah saat Ramadhan dan Syawal 2006/pasca gempa bumi. Di mana terdapat khilafiyah antara pemerintah dan Muhammadiyah, yaa akhirnya aku memilih sesuai jamaah di lingkungan rumah meski tidak mantap. Beliau seorang yang tawadhu, sangat rendah hati, wara menjaga sikap diri, dan ramah suka menyapa. Masih ingat bagaimana di undangan pernikahan beliau yang diceritakan adiknya? “wah kayak undangan resmi rapat lho Nit, masku mengundang dengan print HVS putih,…” subhanallah kereen, dan surprise bagi rekan-rekan kerjanya juga_bisakah aku merferensinya juga nanti?? Sampai sekarangpun kendaraan pribadinya cukup sederhana untuk sekelas dosen seperti beliau. Dan satu lagi contoh, yang aku merasa malu karena sudah merasa cukup nutug ngajar TPA masjid adalah beliau masih setia nuturi mulang ngaji anak-anak di TPA rumah selain beliau sangat sibuk dengan banyak aktivitas lainnya. Siipp Saluut . . . two thumb up !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar